24 July 2010

Yang Muda, Yang Bertakhta....


Makin banyak anak muda yang menduduki posisi puncak di bawah usia 40 tahun. Ada banyak faktor yang menjadi pemacunya.
Dua minggu lalu, Jeanne Kairupan (45 tahun) begitu terpana membaca database ribuan curriculum vitae eksekutif Indonesia yang ada di perusahaannya. Perempuan yang baru sebulan bekerja di perusahaan perwakilan executive search global ini begitu kagum, ternyata banyak sekali anak muda Indonesia yang meski usianya belum genap 40 tahun sudah menduduki posisi puncak di berbagai perusahaan terkemuka, baik yang ada di Indonesia maupun di level global. Ada yang menjadi chief executive officer, direksi, atau minimal general manager.
Apa yang dijumpai Jeanne, anak-anak muda yang bertakhta di puncak (young on top), adalah fenomena menarik. Ya, kini semakin banyak kalangan muda usia memimpin, punya otoritas dan tanggung jawab terbesar di organisasinya. Mereka memimpin ratusan atau bahkan ribuan karyawan, yang bisa jadi banyak di antaranya berusia dua kali lipat dari usianya.
Saya coba membagi young on top dalam empat kategori besar. Pertama, mereka yang menduduki posisi puncak di perusahaan bukan miliknya, jadi berlatarbelakang profesional murni. Kedua, mereka yang di perusahaan keluarga, yang dibangun ayah atau kakeknya. Ketiga, mereka yang sukses di bisnis yang mereka rintis sendiri (entrepreneur). Dan, keempat, mereka yang sukses di bisnis keluarga dan sekaligus juga di bisnis milik sendiri.
Di kalangan BUMN yang selama ini lebih dikenal menerapkan pola manajerial konservatif, sekarang juga mulai muncul anak-anak muda di puncak-puncak pengambilan keputusan. Lihat saja Jimmy Gani yang di usia belum genap 40 tahun telah menduduki posisi Direktur Utama PT Sarinah (Persero). Pria kelahiran 15 September 1972 ini sejak Mei 2009 dipercaya pemerintah membenahi manajemen dan mengembangkan bisnis ritel pelat merah itu. Lalu, masih di lingkungan BUMN, Katherina Patrisia dalam usia 34 tahun juga sudah dipercaya menduduki posisi direksi di PT Boma Bisma Indra.
Di dunia perguruan tinggi pun demikian. Mulai terkuak sekat-sekat senioritas, dan jalan meritokrasi pun menjadi lempang. Jangan heran, di kalangan perguruan tinggi (akademis) pun kini makin terbuka peluang bagi anak-anak muda tampil di puncak. Contohnya, Firmanzah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Anies Baswedan di Universitas Paramadina.
Pada masa-masa sebelumnya, hampir mustahil orang semuda Firmanzah bisa menjadi dekan FE-UI. Kalau bukan profesor yang sudah ubanan, minimal mesti doktor senior yang menduduki posisi prestisius itu. Namun, kini tembok senioritas pelan-pelan bisa dikuak di perguruan tinggi sehingga dengan kemampuannya, Firmanzah bisa menjadi dekan meski baru 32 tahun. Demikian pula Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina. Anies yang pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 100 tokoh intelektual dunia oleh Jurnal Foreign Policy di Washington, AS, menempati posisi rektor pada usia 38 tahun.
Profesional Indonesia yang sukses saat masih muda tak hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di mancanegara. Sebut saja Lilian Fandriana, perempuan yang sukses menduduki Presiden Mature Asset Operations di British Petroleum Asia Pasifik. Tentu saja, itu prestasi yang cemerlang karena persaingan karier di bisnis minyak & gas sangat kompetitif.
Lalu, juga ada Ali Permadiono Sumedi, yang mampu mengemban tugas sebagai Direktur Inovasi Komersial The Coca-Cola Export Corporation Filipina. Ali juga bertugas mengelola dan memimpin proses inovasi di Coca-Cola System, Filipina. Di sana ia memegang peran kunci karena memimpin proses transisi dan ambil alih perusahaan di Filipina, termasuk menyiapkan business plan. “Saya juga merangkap sebagai Region Director Mindanao di mana volume penjualan di region ini hampir sama dengan volume penjualan Coca-Cola di Indonesia,” kata lelaki yang akrab disapa Dion itu.
Bila dilihat, peran yang dijalankan anak-anak muda brilian itu memang sangat signifikan. Tingginya jabatan mereka bukan semata-mata simbol tanpa isi. Contohnya bisa dilacak pada mereka yang di bisnis keluarga, seperti Agus Sudwikatmono (CEO Grup Indika), Anindya Bakrie (CEO Bakrie Telecom) dan Ciliandra Fangiono (CEO Ciliandra/Grup Surya Dumai) yang benar-benar telah memegang peran utama di kelompok usaha masing-masing.
Atau, lihatlah Yeanee Keet di Grup Denpoo. Yeanee, selain memimpin dan mengelola tiga pabrik di Indonesia dan tujuh pabrik di Cina, juga sudah bertindak sebagai CEO meski secara formal masih ayahnya yang bertitel sebagai presdir. Di tangannya, Denpoo sukses berekspansi ke berbagai negara seperti Australia, Myanmar, Mauritius, Madagaskar dan Papua Nugini.
Demikian pula Feny Djoko Susanto, Presdir PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Perempuan ini mengendalikan 3.535 gerai Alfa dengan total karyawan 38 ribu orang. Feny juga aktif membangun pasar di luar negeri, dengan mendirikan gerai Alfamart di Vietnam. Sekarang Alfamart hanya orang di Indonesia yang tahu, tapi nantinya dikenal juga di Vietnam. Untuk sementara kami join venture dengan pengusaha di sana. Kami pakai logo Alfamart, papar lulusan Ohio State University itu.
Adisatrya Suryo Sulisto, CEO Grup Satmarindo, pun demikian. Ia mampu men-turnaround bisnis yang didirikan ayahnya itu dari terpaan badai krismon. Pria ini telah melakukan banyak perubahan besar, dari merestrukturisasi keuangan, mengubah fokus bisnis, hingga merombak SDM dan manajemen perusahaan.
Di antara anak-anak muda ini, juga banyak yang sukses membangun bisnis sendiri. Misalnya, Arya Witoelar, yang berhasil membangun bisnis perkebunan sawit dan tambang batu bara melalui Grup Watala. Atau, Ferry Agus Wibowo, yang meski baru berusia 30 tahun sudah menjadi pengusaha properti terbesar ketiga di Yogyakarta, melalui bendera PT Tiga Saudara Group. Juga, Michael Wiluan, putra Kris Taenar Wiluan (Grup Citra Tubindo), yang sukses mengembangkan bisnis properti dan pariwisata dengan bendera Grup Turi. Michael mengembangkan resor terpadu di wilayah Nongsa, yang terdiri dari resor, vila, terminal kapal feri untuk menyeberang ke Singapura plus tempat parkir yacht, dan lapangan golf. Ia pun memiliki bisnis multimedia dan animasi.
Fenomena tadi menjadi bukti bahwa saat ini untuk menduduki posisi puncak di hierarki bisnis tak lagi harus menunggu sampai usia tua, 50 tahun ke atas. Tidak. Di bawah 40 tahun atau bahkan 30 tahun pun bisa. Dan itu bukan isapan jempol karena sudah banyak fakta yang menjadi pembenar akan kesimpulan itu. Banyak fasilitas dan sarana yang bisa menopang profesional muda untuk meniti karier lebih cepat. Apalagi, didukung keberadaan dunia maya yang memungkinkan transfer pengetahuan dan pengalaman secara lebih mudah.
Lilian Fandriana pun membenarkan bahwa di Indonesia kini mulai terjadi pergeseran cepat dalam dunia karier dan bisnis. Dulu hampir setiap orang berada di pekerjaan yang sama sampai akhir hayatnya. Lalu, pucuk-pucuk kepemimpinan di bisnis biasanya diisi orang-orang yang sama dalam waktu rentang periode bahkan sampai puluhan tahun. Tapi itu kini sudah menjadi model yang kuno, ujarnya.
Dalam hal ini, Lilian melihat pendidikan merupakan salah satu hal yang bisa memungkinkan seseorang berada di puncak secara cepat. Sekarang banyak orang muda mempunyai akses luas mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Itu merupakan salah satu faktor mengapa mereka begitu kompetitif, apalagi setelah mid career mereka mengambil course di luar negeri,katanya. Faktor lain, menurutnya, perputaran bisnis yang semakin cepat. Karena itu, akhirnya siapa yang mempunyai kemampuan lebih, maka dia yang akan naik. Sistem meritokrasi bermain di sini,kata Lilian sembari menyarankan kalangan muda agar memberi tantangan pada diri sendiri.
Rene Suhardono Canoneo, Carreer Couch sekaligus mitra Amrop Indonesia, juga melihat beberapa faktor yang memungkinkan lebih banyak lagi eksekutif muda menjadi pemimpin. Di antaranya, tuntutan dunia bisnis yang bergerak dinamis. Tuntutan dalam berbisnis pada dasarnya adalah berpacu dengan kecepatan kebutuhan masyarakat. Selain itu, kini pun bermunculan industri baru. Mulai dari bisnis media, kreatif, entertainment, hingga bisnis yang membutuhkan kecepatan eksekusi dan dinamika serta bisnis yang perlu pemikiran alternatif.
Karena itu, kebutuhan terhadap orang-orang yang masih muda dan fresh itu tinggi. Maka, anak muda yang dulu dianggap masih hijau kini bisa lebih bebas sampai ke puncak. Kini yang ditonjolkan adalah kemampuan. Siapa pun yang kuat, cepat, sigap, kenapa tidak diberi kesempatan?
Tak hanya itu pergeseran yang terjadi. Pada dekade 1980-an, anak muda yang maju ke tingkat manajemen biasanya minimal harus mempunyai background finance dan marketing. Namun, kini pemimpin tidak khusus diharuskan mempunyai pengalaman di kedua bidang tersebut.
Guru pemasaran Hermawan Kartajaya tak sekadar mengakui kondisi bisnis sekarang memang memungkinkan anak muda mengambil posisi puncak. Ia bahkan menyatakan, anak muda sekarang sudah menjadi benchmark-nya orang senior. Sebab itu, Hermawan mengapresiasi munculnya orang-orang muda seperti pendiri usaha Kebab Turki Baba Rafi dan golongan anak muda lainnya karena lebih bermanfaat bagi bangsa. Karena, mereka menciptakan peluang baru.
Lilian tak lupa ikut memberi saran: anak muda yang sudah on top jangan melihat dari status aja. Terkadang pekerjaan seorang manajer jauh lebih baik dari seorang CEO, ujarnya. Karena itulah, sangat penting untuk mengerti siapa diri kita sendiri. Dengan mengenali kapasitas, kita akan mengetahui seberapa dalam kemampuan kita dan hal apa lagi yang perlu kita pelajari. Philip Purnama, Chief Representative Spinnaker Capital Group for Indonesia, menimpali, dunia bisnis dewasa ini masih terus membutuhkan young on top, tetapi dengan kualifikasi yang komplet. Mulai dari personal skill, penguasaan teknis bisnis, human relations, penguasaan dan pengendalian emosi, hingga spiritual yang baik.
Itu artinya, berada di puncak merupakan suatu pencapaian. Akan tetapi, terus mencetak prestasi pada posisi tersebut adalah tantangan tersendiri yang memerlukan kerja ekstra. Sudah siapkah Anda dengan itu semua?

12 July 2010

Kemiskinan Yang Tak Pernah Hilang.....


Jumlah penduduk miskin di Indonesia per-Maret 2010, jumlahnya 31,02 persen atau setara dengan 13.33 persen dari total penduduk Indonesia. Entah apa yang digunakan sebagai para-meter untuk mengukur kemiskinan penduduk. Mungkin kalau melihatnya secara benar, dan dengan ukuran riil, misalnya kaitan dengan ‘sandang, papan, da pangan’, jumlah orang miskin di Indonesia bisa membludak.
Jumlah penduduk miskin itu, yang paling banyak di pedesaan yang mencapai 19,93 persen (2010), sedang diperkotaan mencapai angka 11,10 persen. Selanjutnya, jumlah penduduk yang miskin paling besar berada di pedesaan 64,23 persen (2010). Artinya, selama reformasi yang sudah berlangsung hampir sepuluh tahun, dan adanya otonomi daerah tak mengubah nasib orang-orang miskin yang berada di pedesaan. Mereka tetap terpuruk,walaupun pemerintah pusat sudah memindahkan anggaran pusat ke daerah. Tetapi, kondisi mereka tetap tidak berubah. Miskin.
Menurut Faisal Basri, bahwa dalam 15 tahun ini, kemiskinan absolut itu mengalami penurunan, tetapi angka penurunannya itu sangatlah kecil. Angka kemiskinan obsulit tahun 1999 mencapai 17,7 persen, dan kini di tahun 2010, angka kemiskinan absolut mencapai 13.3 persen. Pergeseran penurunannya sangat kecil. Bahkan, di era pemerintahan Presiden SBY, angka kemiskinan absolut pernah mengalami kenaikan cukup tajam, dari 16 persen, kemudian naik menjadi 17,8 persen di tahun 2005, dan tahun 2006 berarti lebih tinggi dari 10 tahun sebelumnya. Bahkan, dalam jumlah absolut pun naik menjadi 4 juta jiwa.
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang baru muncul di Asia, seperti Vietnam. Misalnya, dengan ukuran dolar AS (Rp 9,000) perhari, kemiskinan absolut di Vietnam, turun dari 51 persen tahun 1990 menjadi hanya 3 persen di tahun 2008. Sedangkan Indonesia untuk kurun waktu yang sama hanya turun dari 20,5 persen menjadi 5,9 persen. Sementara itu, penurunan di China jauh lebih tajam, yakni dari 31,5 persen menjadi 6,1 persen. Hal yang sama terjadi di Laos, dan Kamboja, yang secara bertahap ekonomi terus mengalami perbaikan, dan berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Tetapi, di Indonesia perubahan angka kemiskinan sangatlah lambat.
Alih-alih mengangkat nasib orang miskin yang sudah ada, justeru sekarang orang-orang lapisan menengah, yang secara ekonomi relatif kondisi masih hidup, sekarang ini dengan adanya kenaikan harga-harga pokok mereka menjadi terpuruk. Ini terus berlanjut, dan tidak pernah harga kebutuhan pokok menjadi turun. Angka inflasi juga terus naik, sehingga penghasilan penduduk,yang sudah kecil itu, akhirnya tergerus oleh inflasi.
Penghasilan penduduk, yang relatif kecil itu, tak akan mampu menopang kehidupan mereka. Inilah akan menambah jumlah angka-angka kemiskinan, yang terus memanjang, pemerintah tanpa dapat mengurangi angka kemiskinan itu.
Pemerintah juga gagal mengusahakan pertumbuhan ekonomi, yang signifikan, diatas 6 persen setahunnya, karena itu tak mampu menyerapkan angkatan tenaga kerja. Barisan penganggur semakin panjang. Mereka sudah mulai frustasi. Tak lagi dapat melihat secercah harapan bagi masa depan mereka. Jutaan mereka yang sudah lulus dari perguruan tinggi, setiap tahunnya, tak terserap oleh lapangan kerja. Pengangguran orang-orang yang terdidik, yang jumlah semakin banyak. Ini akan menjadi ‘bom’ waktu, yang setiap saat dapat meledak. Apalagi, dipicu oleh sikap pemerintah, yang tidak dapat menciptakan ‘goodgovernance’, dan terus memburuknya iklim birokrasi di Indonesia, yang dampaknya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Budaya korupsi tak dapat di hapus, dan sudah mendarah-daging.
Di era reformasi ini, justru korupsi semakin bertambah, bukan semakin berkurang. Lembaga-lembaga penegak hukum, semuanya tak mampu memberantas korupsi, karena diantara mereka adanya ikut terlibat. Sehingga, usaha-usaha memberantas korupsi menjadi mandul. Tak dapat berjalan dengan efektif. Lembaga seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagai lembaga penegak hukum, yang merupakan amanah dari undang-undang, perlahan-lahan ‘dipreteli’ dan menjadi tak bergigi, dan lumpuh, dan mampu lagi menjadi penegak hukum, yang membberikan efek jera, dan meminimalkan korupsi di Indonesia.
Di tengah-tengah kondisi kemiskin yang akut, dan korupsi yang mengganas di seluruh sektor kehidupan, menyebabkan banyaknya orang yang berputus asa. Banyak orang-orang yang terdidik, akhirnya mereka memilih hengkang dari Indonesia,yang disebut dengan ‘braindrain’ (pelarian orang terdidik) ke berbagai negara. Karena potensi-potensi mereka tidak dapat berkembang di Republik ini. Mereka mencari kehidupan baru di negara lain, dan ingin mengembangkan potensi mereka, selain mereka ingin mendapatkan hidup yang lebih layak.
Pemerintah yang selalu mengatakan berhasil, tetapi kenyataannya justru menunjukkan ketidakberhasilan, terutama mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia. Sebaliknya, mengapa negara-negara tetangga yang dahulunya miskin, dan tergolong sebagai negara baru, seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja, pemeritahan berhasil mengatasi dan menurunkan angka kemiskinan, tetapi di Indonesia jumlah angka kemiskinan tetapi tak berubah.
Dan, yang makmur dan dapat menikmati kehidupan, hanyalah segelintir orang, terutama para pejabat, pemimpin partai, dan elit lainnya. Mereka hidup diata penderitaan rakyat, yang sudah berlangsung puluah tahun, sejak Indonesia merdeka. Sementara itu, harta kekayaan Indonesia terkuras habis oleh asing, dan rakyat tidak mendapatkan apa-apa.
Hidup di Indonesia serba susah, harga-harga naik, biaya hidup semakin melonjak, sementara pendapatan tidak berubah. Sekarang saat tahun ajaran baru, biaya pendidikan ikut mencekik leher kaum miskin. Sekolah menengah umum (SMU), menggunakan tarif yang tidak mungkin lagi terjangkau oleh rakyat. Ditambah lagi biaya masuk perguruan tinggi melangit. Sekalipun, anggaran pendidikan telah dinaikan sesuai dengan konstitusi 20 persen, tetapi mengapa biaya pendidikan menjadi naik?
Indonesia seperti kembali di zaman penjajahan, di mana yang dapat sekoleh hanya dari kaum ‘amtenaar’ (priyayi), atau anak pejabat, sementara anak petani, dan golongan buruh, serta kaum miskin lainnya, mereka tak akan dapat menjangkau pendidikan. Apa nikmatnya hidup di Indonesia? Wallahu’alam.

10 July 2010

Resensi Buku : Provokatips for Spectacular Life


Penulis buku yang tidak lain adalah sahabat dan rekan dosen saya di Unindra ini, Ari "Archan Sang Provokator" Chandra Kurniawan, kembali menggebrak dengan bukunya yang SPECTAKULER. Awalnya saya bingung buku ini sebetulnya buku motivasi atau buku humor, dengan tanpa meninggalkan makna penulis mencoba menulis buku dengan gayanya yang funky, gaul, trendi, narsis namun tetap spiritualis.

Buku ini akan memprovokasi diri Anda menjadi "Gila". Bukan hanya Anda, namun banyak orang akan merasa tergila-gila karena buku ini mampu memprovokasi Anda sehingga kehidupan Anda berubah 180 derajat seperti apa yang penulis alami, yakni menjadi lebih spektakuler. Buku ini akan meracuni pikiran Anda untuk memiliki paradigma dan kebiasaan yang mungkin sama sekali asing bagi Anda karena Anda akan belajar:



  • Bagaimana merencanakan kematian Anda langkah demi langkah sehingga Anda lebih memilih mati.


  • Bagaimana agar Anda bisa mengidap dan terinfeksi PESIMIS alias PEnyakit SI MISkin.


  • Bagaimana agar Anda menjadi orang yang tidak baik dalam keseharian. + Bagaimana agar Anda tidak lagi mencium tangan orangtua Anda.


  • Bagaimana menjadi teroris andal dan menggunakan bom yang paling berbahaya di dunia.


  • Serta cara-cara provokatif dan membuat Anda jauh lebih SPEKTAKULER daripada sebelumnya.

Dengan buku ini Anda akan dibuat menyesal seumur hidup karena telah membaca buku ini. Bukan apa-apa, tapi mengapa buku ini harus hadir saat ini bukan dari dulu sehingga bisa menerapkan ide-ide ini sejak lama dan jauh lebih sukses pada saat ini. So segera dapatkan buku ini yang ASLI di toko-toko buku terdekat.

08 July 2010

Haruskah Sekolah Yang Tinggi Jika Ingin Sukses...?


Pertanyaan diatas mungkin masih banyak tersimpan dalam benak kita, bahwa ukuran kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Padahal berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga dapat disimpulkan bahwa jumlah prosentase pengangguran dari lulusan sarjana jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan prosentase pengangguran dari lulusan sekolah menengah.

Siapa yang tidak kenal dengan Robert. T. Kiyosaki, seorang milyuder keturunan Jepang dan juga seorang penulis yang cukup produktif. Ia mungkin memang layak untuk dikecam bagi sebagian orang yang masih mempercayai institusi pendidikan formal. Betapa tidak, ia dengan sangat telanjang menyatakan bahwa pendidikan formal selamanya tidak akan pernah menciptakan seorang untuk menjadi kaya. Lebih lanjut, ia secara terang-terangan menyarankan agar kita tidak membiarkan anak-anak kita tersentuh dan terlibat jauh dengan sistem pendidikan konvensional yang cenderung konservatif.
Robert T. Kiyosaki memang memiliki sejumlah pengalaman unik, yang melandasinya untuk menarik kesimpulan tersebut. Didalam salah satu bukunya, Rich Dad, Poor Dad, ia mencoba membandingkan dua orang yang dianggap sebagai ayahnya. Ayahnya yang pertama (ayah kandungnya –pen) merupakan orang yang berlatar pendidikan tinggi. Namun, ternyata bekal keilmuannya yang sangat mumpuni itu tidak mampu menyelamatkannya dari jeratan hutang, karena kebutaannya dalam hal finansial.
Kondisi yang berbeda terjadi pada ayah yang keduanya (ayah dari sahabatnya, yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandungnya sendiri –pen). Meski hanya mengeyam pendidikan menengah, namun dengan kemampuannya, yang disebut oleh Robert sebagai melek finansial ini, justru menjadikannya seorang yang kaya raya. Ia memutar dan mengelola uang secara piawai.
Robert mungkin terkesan terlalu menyederhanakan masalah, saat ia coba untuk mengkorelasikan latar belakang pendidikan formal dengan pemberdayaan finansial seseorang. Namun, bisa jadi hal ini menjadi poin penting yang ingin diungkapkannya, dan ternyata tidak sesederhana yang kita fikirkan.
Ini tak lain adalah soal ide dan kreatifitas, yang sering kali tidak mendapat ruang yang cukup luas pengembangannya di institusi pendidikan formal. Penulis, dan juga mungkin Anda, sering merasakan bahwa institusi pendidikan formal lebih mirip sebagai penjara, bahkan mungkin lebih menakutkan lagi.
Sebuah anekdot mengatakan, di penjara kondisinya masih jauh lebih baik, karena disana Anda tidak diwajibkan untuk membaca dan membeli buku-buku yang dikarang atau dimiliki oleh para sipir penjara. Sedangkan yang terjadi dikampus adalah sebaliknya. Para dosen, dengan kuasa otoratifnya, seringkali memaksakan kepada mahasiswanya untuk membeli dan membaca buku-buku karangannya.
Kita pun merasakan bahwa sebagian besar waktu yang dihabiskan di institusi pendidikan formal (sekolah, kampus, dsb) lebih banyak dialokasikan untuk merangsang otak kiri, bagian otak yang kita pergunakan untuk berhitung, menganalisis dan fungsi berfikir rutin lainnya, sehingga bagian ini jauh lebih berkembang dibandingkan dengan otak kanan. Tak heran jika otak kanan kita –yang lebih banyak berfungsi sebagai pabrik kreatifitas, menjadi tumpul.
Hari demi hari, otak kita selalu disuguhi dengan teori yang telah siap saji, mapan, juga pemikiran-pemikiran para pakar yang sesungguhnya telah usang, seperti Teori Evolusi Darwin yang telah kehilangan daya dukung ilmiahnya, dan masih banyak lagi. Kampus ataupun sekolah bisa jadi merupakan tempat yang paling dihindari oleh para pemikir kreatif, seperti Thomas A. Edison
Selayaknya, kampus dan sekolah menjadi ajang pesta gagasan baru setiap hari. Tak perlu menyita waktu banyak, cukup 15 menit saja para mahasiswa atau murid dipersilahkan untuk melakukan presentasi dan analisi kritisnya mengenai teori-teori dari para pakar, atau bahkan biarkan mereka mensintesis teorinya sendiri.
Gagasan yang keluar dari mereka barangkali terkesan janggal, aneh, bahkan mungkin tak masuk akal. Biarkan saja, karena tidak menutup kemungkinan, suatu saat pemikiran-pemikiran semacam itulah yang akan mempengaruhi perkembangan kita.
Bukankah ide untuk menggunakan nuklir untuk terapi kesehatan terasa aneh? Atau gagasan membangun jalan layang dengan pondasi menyerupai ceker ayam di daerah berpasir tidak tergolong biasa? Bahkan, ide untuk memproses ketela menjadi bahan bakar adalah sebuah refleksi yang memberikan fakta-fakta pada kita bahwa kreatifitas yang mendapat ruang dan kesempatan yang cukup luas untuk mewujudkan eksistensinya, adalah keniscayaan dalam belajar.
Sebagaimana Albert Einstein mengatakan “ Semangat tinggi akan selalu mendapat perlawanan keras dari pemikiran biasa-biasa saja.”