19 January 2011

Transformasi Telkom Menuju Single Provider


Setelah 153 tahun beroperasi, Telkom melakukan transformasi terbesar dalam sejarah dengan mengubah bisnisnya. Inilah proses perubahannya dari separate providers menuju single provider.
Perayaan ulang tahun PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) ke-153 sangat istimewa. Bertempat di Djakarta Theatre, tepat pada hari jadinya, 23 Oktober lalu, diluncurkan “New Telkom”. Peluncuran itu untuk mengukuhkan transformasi bisnis BUMN ini dari semula infokom menjadi telecommunication info media & edutainment (TIME). Saat itu juga diumumkan logo dan identitas korporat baru yang menelan dana Rp 3,2 miliar.
Perubahan logo lama menjadi baru bersifat total, mulai dari warna, huruf hingga lambang. Tampilannya lebih modern: berlatar belakang warna putih, lingkaran biru dan telapak tangan dengan lima jari berwarna oranye menyatu. Jargon anyar yang diusung adalah “The World in Your Hand”. Bandingkan dengan logo lama yang bergambar gradasi lingkaran warna biru dengan slogan citra “Commited to You”.
“Hadirnya portofolio bisnis baru ini sejalan dengan positioning baru Telkom, yakni Life Confident dengan tagline ‘The World in Your Hand’. Telkom beralih dari separate providers menuju single provider,” ungkap Rinaldi Firmansyah, Direktur Utama Telkom.
Rinaldi menjelaskan, transformasi kali ini adalah yang terbesar dalam sejarah Telkom, karena bersifat fundamental, menyeluruh dan terintegrasi yang menyentuh empat aspek dasar perusahaan. Yaitu, transformasi bisnis, infrastruktur, sistem dan model operasi, serta transformasi sumber daya manusia (SDM).
Guna mendukung transformasi total, Telkom menetapkan 10 Strategic Initiative yang mengacu pada strategi defense the legacy and grow the new wave serta strategic objectives. Meskipun begitu, yang jelas, peta bisnis Telkom kini secara garis besar dibedakan menjadi dua: legacy dan new wave melalui TIME.
Untuk strategi defense the legacy, Telkom tetap mempertahankan bisnis tradisional. Caranya, mengoptimalkan jaringan saluran tetap kabel (fixed wireline), melakukan penyelarasan terhadap layanan seluler dan fixed wireless access (FWA), memisahkan FWA sebagai unit bisnis tersendiri, serta merampingkan portofolio anak usaha (streamline subsidiary portfolio).
Sementara itu, untuk grow the new wave dan strategic objectives, “Kami harap dengan fokus berbasis TIME, Telkom akan menguasai 60% pendapatan dari industri new wave pada 2014,” ujar Rinaldi tandas. New wave adalah bisnis baru di industri teknologi komunikasi informasi yang tidak hanya mengandalkan sektor telekomunikasi, tetapi beralih ke konten, portal, media dan solusi teknologi informasi. Infrastruktur telekomunikasi hanya dijadikan sebagai tulang punggung. Saat ini, bisnis new wave berkontribusi sekitar 10% bagi total pendapatan Telkom. Sumber kontribusinya berasal dari anak usaha seperti Sigma Cipta Caraka dan Indonusa. Adapun sumbangan revenue terbesar dari sektor telekomunikasi, yaitu 90%.
Transformasi yang dilakukan Telkom tidak stagnan di satu periode. Eddy Kurnia, VP Komunikasi Publik dan Pemasaran Telkom, menjelaskan transformasi ini merupakan proses yang berkelanjutan, karena perusahaan terus berubah.
Fase pertama transformasi Telkom dilakukan saat dipimpin Cacuk Sudarjanto (1988-92) dan Setyanto P. Santosa (1992-97). Di bawah komando Cacuk (almarhum), Telkom menjalankan fundamental change: Basic Culture Transformation. Adapun waktu dipimpin Setyanto, Telkom go public dan sahamnya terdaftar di beberapa bursa (Bursa Efek Jakarta, Bursa Efek Surabaya, New York Stock Exchange dan London Stock Exchange), merestrukturisasi 12 wilayah telekomunikasi (witel) menjadi 7 divisi regional (Divre), serta menyelesaikan kerja sama operasi (KSO) di 5 divre.
Transformasi fase ke-2 dilakukan kala Kristiono (2002-05) dan Rinaldi Firmansyah (2005-sekarang) menjadi nakhoda. Tahun 2002, Telkom memasuki lingkungan bisnis baru yang kompetitif. Akibatnya, transformasi pada masa itu diarahkan dari asset-based company menjadi customer-centric company dan bertransformasi dari perusahaan telekomunikasi menjadi perusahaan infokom.
Di bawah kepemimpinan Rinaldi, Telkom memasuki era baru, berubah dari perusahaan infokom menjadi TIME. Sebuah era di mana Telkom memasuki dan menumbuhkan bisnis new wave, sambil tetap mengoptimalkan bisnis tradisional berbasis legacy yang masih menguntungkan.
Selanjutnya, langkah apa saja yang ditempuh Telkom untuk melakukan transformasi fundamental dan menyeluruh?
Transformasi bisnis Telkom merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari. Beberapa hal menjadi pemicunya. Simak saja, saat ini tengah terjadi berbagai perubahan mendasar, mulai dari lingkungan bisnis (kompetisi dan regulasi), teknologi hingga gaya hidup. Jadi, perubahan bersifat mutlak guna menjawab tantangan lingkungan bisnis yang baru. “Perubahan fundamental ini tak terelakkan mengingat layanan wireline yang berbasis PSTN (public switch telephone network) sedang menghadapi fase menurun, seiring berubahnya gaya hidup masyarakat, karenanya perlu direvitalisasi. Perubahan ini untuk menjaga pertumbuhan kompetitif Telkom secara bersinambung,” ujar Rinaldi menguraikan.
Transformasi infrastruktur dilakukan sesuai dengan kebutuhan bisnis Telkom dengan parameter efisiensi dari infrastuktur yang digunakan. Efisiensi pada infrastuktur berpatokan pada jenis broadband technology.
Lalu, transformasi sistem dan bisnis model bertujuan meluaskan jangkauan pasar Telkom. Itu menyangkut sistem prosedural dan sistem produksi yang dikembangkannya.
Transformasi SDM basisnya pengembangan kompetensi, yang dilakukan melalui berbagai pelatihan demi mendukung perubahan teknologi dan bisnis. Melalui pusat pelatihan di Gegerkalong, Bandung, plus beberapa kampus di 7 kota besar Indonesia, sampai kini 9.000 orang sudah dilatih untuk bisa mengembangkan bisnis TIME.
Untuk perampingan SDM, Telkom menawarkan program pensiun dini tiap tahun sampai jumlahnya ideal, 16-17 ribu orang. Hingga sekarang jumlah karyawan tetap Telkom 23 ribu orang dan bila dijumlah dengan anak usaha, total sekitar 31 ribu pegawai.
Walaupun begitu, Telkom masih melakukan rekrutmen. Grup ini terbuka untuk memperkaya SDM-nya dalam jumlah tertentu demi pengembangan TIME dan bisnis anorganik lewat akuisisi perusahaan-perusahaan yang sehat dan sejalan dengan portofolio bisnisnya. “Kami bukan sekadar akuisisi perusahaan, tapi juga termasuk orang-orangnya,” Eddy menuturkan.
Dengan tranformasi total, Telkom optimistis bakal menjadi satu-satunya pelaku bisnis TIME terbesar dan terdepan di Indonesia. Rinaldi mengatakan, untuk penjabaran bisnis TIME, Telkom akan menciptakan bisnis telekomunikasi yang lebih atraktif. Contohnya, bisnis telepon kabel dipersiapkan sekaligus menjadi vehicle untuk broadband access Speedy. “Kalau pelanggan berlangganan Speedy, harus kami ketahui juga telepon rumahnya untuk menjadi saluran layanan tersebut,” ujarnya. Untuk akses data dan komunikasi, Telkom mempunyai TelkomselFlash dan Flexinet untuk produk CDMA-nya.
Sementara bisnis informasi akan digarap Telkom lewat IT Services Business melalui anak usaha: Metra dan Finnet. Keduanya untuk melayani financial network bagi pelanggan korporat. Guna mendukung portofolio bisnis ini, akhir 2008 Telkom mengakuisisi PT Sigma Cipta Caraka dengan kepemilikan saham 80%. Pertengahan tahun ini, melalui Metra, Telkom mengakuisisi PT Infomedia Nusantara dari Elnusa, sehingga saat ini saham yang dimiliki 100%. Tujuan pengambilalihan ini adalah untuk melengkapi layanan komunikasi bidang contact center dan call center.
Perubahan dalam perkembangan bisnis media pun ditanggapi sigap oleh Telkom. Salah satunya dengan pembenahan bisnis e-commerce. Ini ditandai dengan diluncurkan versi terbaru Plasa.com dengan nama Mojopia. Mojopia merupakan perusahaan yang berfokus pada penyediaan portal e-commerce dan agregasi konten yang layanan dasarnya meliputi e-commerce, konten dan komunikasi.
“Biaya investasi untuk merevitalisasi bisnis media US$ 2 juta,” ujar Rinaldi sambil menyebutkan, perubahan Plasa.com menjadi Mojopia disiapkan sejak 1,5 tahun lalu. Biaya yang sangat besar tentu bukan asal keluar uang saja. Namun, Telkom yakin bahwa di sinilah bisnis new wave dimulai. Dia menargetkan 1 juta barang dan 1.000 merchant bisa dikelola pada 2010. “Jangan bicara balik modal dulu, karena target Mojopia bisa berhasil seperti Amazon.com. Setidaknya tiga tahun setelah peluncuran ini, Mojopia akan membesar,” imbuhnya saat ditanya kapan investasinya balik modal.
Agar target bisnis media tercapai, bukan hanya bisnis Telkom yang direvitalisasi, tetapi juga orang-orang di dalamnya. Tidak bisa dimungkiri, Mojopia bisa makin besar dengan dukungan SDM yang andal, hasil sinergi dari orang Telkom, Telkomsel dan bahkan orang di luar grup ini. Sebut saja, Shinta W. Dhanuwardoyo, yang kini menjabat CEO Mojopia (pendiri dan mantan CEO Bubu.com) dan Andi S. Boediman, Chief Innovation Officer Mojopia (pendiri Digital Studio). Bagi Andi, bergabungnya dia dengan Telkom lantaran ini kesempatan baru. “Melalui Mojopia,” katanya, “kami membangun platform bagi entrepreneur.”
Telkom juga membangun bisnis edutainment. Kendaraan bisnis tersebut adalah televisi berbayar yang produknya dikenal dengan Telkom Vision. Pada saatnya kelak, bisnis ini menjadi konten agregator untuk IP TV. “Rencananya IP TV akan diluncurkan pada triwulan I/2010,” ucap Eddy. IP TV adalah TV interaktif, seperti adanya video on demand, yang semuanya dikendalikan pelanggan. Rencananya juga bakal dilengkapi dengan view TV melalui broadband Speedy.
Betul, kini kontribusi bisnis new wave (TIME) masih kecil dibandingkan legacy. Akan tetapi, potensi pasarnya masih besar lantaran pertumbuhannya saja mencapai 51%. Telkom melihat new wave merupakan bisnis masa depan. Diharapkan pada 3-4 tahun ke depan, kontribusi bisnis new wave berangsur-angsur akan meningkat menjadi 25%-30%. Dan pada 2014 kontribusinya ditargetkan 60%, sehingga menjadi tulang punggung baru bagi Telkom. Nah, guna membangun bisnis new wave, perlu infrastrukstur yang mumpuni sebagai penopang. Itulah sebabnya, Telkom tiap tahun menggelontorkan belanja modal rata-rata Rp 21 triliun. Anggaran 2010 kurang-lebih Rp 20 triliun. Keseriusan itu dibuktikan dengan sejumlah proyek pendukung. Misalnya, membangun backbone plus optik yang terintegrasi di kawasan Indonesia Timur dan infrastruktur berbasis Internet Protocol yang terangkai mulai dari Nusa Tenggara (Mataram-Kupang), Sumatera, Jawa, sebagian Kalimantan, sampai Sulawesi sehingga menunjang infrastruktur Next Generation Network.
Telkom juga menerapkan budaya kerja baru. Ini terkait dengan indentitas korporat dan positioning baru: Life Confident. Ada lima budaya atau nilai-nilai anyar yang kini diinternalisasi Telkom kepada seluruh pegawai, yaitu Expertise (keahlian), dengan simbol lingkaran menunjukkan kelengkapan produk dan layanan dalam portofolio bisnis baru Telkom; Empowering (pemberdayaan), disimbolkan dengan tangan yang meraih keluar, mencerminkan pertumbuhan dan ekspansi keluar; Assured (jaminan), dilambangkan dengan jemari tangan, merefleksikan kecermatan, perhatian, serta kepercayaan dan hubungan yang erat; Progressive (kemajuan), digambarkan dengan kombinasi tangan dan lingkaran seperti matahari terbit yang bermakna perubahan dan awal yang baru; dan Heart (hati kehidupan), diwujudkan dengan gambar telapak tangan yang mencerminkan kehidupan untuk menggapai masa depan.
Dari serangkaian langkah transformasi yang dijalankan Telkom, tampak bahwa BUMN ini sudah siap lepas landas menjadi pemain terdepan bisnis TIME di Tanah Air. Pakar branding Daniel Surya menilai, ”Di satu sisi Telkom sadar akan perubahan besar. Di sisi lain, publik khawatir Telkom tidak akan bisa menghadapi tantangan tersebut. Tapi, Telkom justru cepat menjawabnya dengan perubahan total ini. Tidak menutup kemungkinan kelak Telkom akan menjadi pemain global yang besar.”
Country Managing Director The Brand Union wilayah Indonesia dan Brunei Darussalam yang juga konsultan perubahan logo Telkom itu mengakui bahwa proses branding Telkom yang digarapnya paling ideal. Bukan dari segi biayanya, melainkan prosesnya: perubahan ini dilakukan sejak kepemimpinan Cacuk. Proses perubahan logo ini memerlukan waktu 8-9 bulan. Dan proses itu belum selesai, sebab The Brand Union juga membantu internal brand engagement, untuk menerjemahkan brand value yang baru kepada karyawan. Ini dilakukan bertahap mulai dari level atas hingga bawah yang memakan waktu 6 bulan.
Namun, bagi Steve Sudjatmiko, ada beberapa hal yang harus diperhatikan Telkom dalam perubahan ini. “Meski sudah mengeluarkan investasi besar, transformasi Telkom bukan berarti tanpa risiko. Apakah Telkom bisa meyakinkan bahwa pasar yang dituju akan segera menjual?” kata pendiri dan konsultan manajemen Red Pyramid itu. Dengan kata lain, ketika Telkom sudah mulai berinvestasi kapabilitas ke arah baru, tetapi ternyata pasar yang mereka harapkan tidak segera terjadi, maka kapabilitas itu akan kedaluwarsa. “Saya khawatir, Telkom ‘pindahnya’ terlalu pagi, sehingga investasi kapabilitas yang sudah mereka lakukan jadi sia-sia,” ujar Steve. Sebaliknya, bila arah Telkom benar, menurut dia, Telkom akan melangkah lebih cepat dengan kapabilitas yang telah mereka bangun sejak sekarang. Telkom juga memiliki kekuatan untuk merekrut orang-orang terbaik di Indonesia, bahkan dunia, untuk membangun bisnis baru ini.
Yang pasti, menurut Steve, kekuatan dalam proses perubahan adalah visinya. Jadi, jika visi salah, arah perubahan pun bakal melenceng. Dan dia memandang, Telkom sudah bagus visinya karena menjadi pemain nomor satu bisnis telekomunikasi, tetapi ingin terus berubah, keluar dari comfort zone. Pada situasi ini, perubahan yang dituntut bukanlah perubahan yang biasa, melainkan yang luar biasa.
Orang Inggris bilang, “If you don’t know where you’re going, then for sure you won’t get there.” Telkom sudah mematok ke mana ia akan bergerak. Sekarang eksekusi yang cermat menjadi kunci suksesnya. ***

No comments:

Post a Comment